Hajah Cicih Rukesih (70) saat memberikan tausiah masih belum hilang dalam ingatan masyarakat Kota Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang dan sekitarnya. Pemilik nama panggung Cicih Cangkurileung (Kutilang). Cicih Cangkurileung Maestro Jaipong dari Subang yang biasanya bersuara gahar (keras dan lantang) dan senggol (improvisasi) saat mengawih kliningan, tetapi lembut saat berdakwah, telah meninggalkan pencintanya untuk selamanya pada Selasa (18/9/2012) sekitar pukul 02.00 WIB di kediamannya, Kampung Sembung II RT 08/RW 04 Desa Gunungsembung, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang. Innalillahi waa inna illaihi rodjiun.
Kehilangan seorang maestro seni kawih kliningan Hj. Cicih Cangkurileung sangat jelas terlihat saat keranda diusung dari rumah almarhumah menuju TPU Celerek yang jaraknya sekitar 700 meter. Ratusan pengantar terdiri atas unsur Muspika dan Muspida Kabupaten Subang serta masyarakat, berdesakan dan menciptakan antrean panjang.
Sangat beralasan bila masyarakat sangat kehilangan Cicih Cangkurileung. Selain dikenal sebagai juru kawih kliningan penerus jejak langkah Titin Fatimah dan Upit Sarimanah, dalam tiga tahun terakhir ini almarhumah sangat dekat dengan masyarakat karena rajin berdakwah.
Cicih Cangkurileung sudah menimba ilmu sebagai juru kawih kliningan pada usia 5 tahun pada Cucun Cunayah dan Suwandi (juru rebab). Hal ini membuat sejumlah seniman tradisi waktu itu memprediksi Cicih kecil akan menjadi penerus Titin Fatimah dan Upit Sarimanah. Benar saja, hanya berselang dua tahun, atau tepatnya pada usia 7 tahun, Cicih muda yang diberi julukan Cicih Cangkurileung sudah menyabet juara pertama kawih kliningan. Dalam beberapa tahun, saat usianya menginjak remaja, namanya cepat dikenal, khususnya di kalangan pencinta seni kliningan dan bajidoran.
Bahkan, pada waktu itu, namanya dikenal sebagai juru kawih untuk kesenian bajidoran serta jaipongan yang saat itu digandrungi. Kelebihan Cicih Cangkurileung sebagai pesinden adalah pada warna suara yang gahar (lantang), improvisasi dalam senggol (ornamen lagu) terutama senggol kejawen, pedotan (teknik masuk, pada tiap baris lagu) juga kekuatannya manggung hingga dini hari tanpa juru kawih pendamping.
Bagi para pencintanya, Cicih Cangkurileung saat ini akan menjadi tinggal kenangan. Sang maestro bersuara gahar tersebut telah berpulang untuk selamanya.
Dilahirkan di tengah keluarga pemusik dan dalang, sejak kecil ia sudah menyanyi di depan umum. Nama panggung Cangkurileung (kutilang) mulai digunakan ketika mengikuti kontes sinden yang mengharuskan peserta menggunakan nama burung di belakang aslinya.
Tidak kurang dari 150 lagu telah almarhum ciptakan. Sementara untuk suaranya yang dipitakasetkan di antaranya album :
Sebagai warga Subang khususnya, merasa sangat kehilangan sosok panutan yang multitalenta.
Almarhumah bukan hanya dikenal sebagai maestro seni tradisional kliningan ataupun seni Sunda di Kabupaten Subang khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Akan tetapi, juga sosok wanita yang sangat ramah dalam memberikan ajaran atau ilmu seni (kawih kliningan) maupun wejangan agama saat dia menjadi dai
Almarhumah bukan hanya dikenal sebagai maestro seni tradisional kliningan ataupun seni Sunda di Kabupaten Subang khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Akan tetapi, juga sosok wanita yang sangat ramah dalam memberikan ajaran atau ilmu seni (kawih kliningan) maupun wejangan agama saat dia menjadi dai
Kehilangan seorang maestro seni kawih kliningan Hj. Cicih Cangkurileung sangat jelas terlihat saat keranda diusung dari rumah almarhumah menuju TPU Celerek yang jaraknya sekitar 700 meter. Ratusan pengantar terdiri atas unsur Muspika dan Muspida Kabupaten Subang serta masyarakat, berdesakan dan menciptakan antrean panjang.
Sangat beralasan bila masyarakat sangat kehilangan Cicih Cangkurileung. Selain dikenal sebagai juru kawih kliningan penerus jejak langkah Titin Fatimah dan Upit Sarimanah, dalam tiga tahun terakhir ini almarhumah sangat dekat dengan masyarakat karena rajin berdakwah.
Cicih Cangkurileung sudah menimba ilmu sebagai juru kawih kliningan pada usia 5 tahun pada Cucun Cunayah dan Suwandi (juru rebab). Hal ini membuat sejumlah seniman tradisi waktu itu memprediksi Cicih kecil akan menjadi penerus Titin Fatimah dan Upit Sarimanah. Benar saja, hanya berselang dua tahun, atau tepatnya pada usia 7 tahun, Cicih muda yang diberi julukan Cicih Cangkurileung sudah menyabet juara pertama kawih kliningan. Dalam beberapa tahun, saat usianya menginjak remaja, namanya cepat dikenal, khususnya di kalangan pencinta seni kliningan dan bajidoran.
Bahkan, pada waktu itu, namanya dikenal sebagai juru kawih untuk kesenian bajidoran serta jaipongan yang saat itu digandrungi. Kelebihan Cicih Cangkurileung sebagai pesinden adalah pada warna suara yang gahar (lantang), improvisasi dalam senggol (ornamen lagu) terutama senggol kejawen, pedotan (teknik masuk, pada tiap baris lagu) juga kekuatannya manggung hingga dini hari tanpa juru kawih pendamping.
Bagi para pencintanya, Cicih Cangkurileung saat ini akan menjadi tinggal kenangan. Sang maestro bersuara gahar tersebut telah berpulang untuk selamanya.
Dilahirkan di tengah keluarga pemusik dan dalang, sejak kecil ia sudah menyanyi di depan umum. Nama panggung Cangkurileung (kutilang) mulai digunakan ketika mengikuti kontes sinden yang mengharuskan peserta menggunakan nama burung di belakang aslinya.
Tidak kurang dari 150 lagu telah almarhum ciptakan. Sementara untuk suaranya yang dipitakasetkan di antaranya album :
- Sunda Klasik Titip Salam (bersama Mitra Kencana Gamelan Group)
- Sunda Klasik Ngiring Bingah
- Sunda Klasik Cicih Cangkurileung
- Sunda Klasik Ngiring Bingali
- Jaipong Ibingan Adumanis Cicih
- Gita Jaipong Cicih Amplop Biru
- Sunda Klasik Nikmat Duriat
- Top Jaipong Gadis Subang
- Terimakasih sobat sudah berkunjung dan membaca Cicih Cangkurileung Maestro Jaipong dari Subang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar